Artikel Pendidikan

Pendidikan Yang Tak Mendidik (sebuah testimoni)

Oleh: Aa Ramdani*

Belum luput dari ingatan kita beberapa waktu yang lalu ketika nyaris semua media lokal meliput berita tentang tawuran antar pelajar yang melibatkan dua sekolah menengah yang cukup ternama di Kabupaten Ciamis, lalu keesokan harinya diberitakan kepolisian masuk ke sekolah-sekolah untuk memberikan penyuluhan tentang bagaimana menangani kenakalan remaja lewat pengembangan karakter. Cerita ini bagi kebanyakan orang mungkin biasa. Tapi ada ironi yang membuat kesadaran kita tersentak. Kenapa sekolah melibatkan campur tangan pihak kepolisian untuk mendidik siswanya? Apakah sekolah-sekolah sudah sangat tidak berdaya bahkan hanya untuk sekedar menangani kenakalan usil masa remaja para siswanya? Apa sebenarnya yang dilakukan oleh para pendidik selama ini terhadap para siswanya, atau memang sekolah sudah berhenti jadi lembaga pendidikan.

Sejatinya para pendidik yang paling paham apa yang menyebabkan sekolah menjadi sansak massal dan arena tinju kolektif antar pelajar, sehingga tidak perlu melibatkan pihak kepolisian untuk menyelesaikan urusan yang sebenarnya bukan keahlian mereka,karena para penyidik ini tidak diajarkan bahasa kasih sayang.untuk menelanjangi urusan orang dan menyingkap kejahatan, para polisi dididik untuk melepaskan diri dari perasaan. Bagaimana bisa para penyidik yang terbiasa tak berperasaan ini diharapkan mampu menyelesaikan urusan yang sebenarnya menyangkut perasaan para siswa yang terlanjur kita dan umumnya masyarakat kategorikan sebagai anak ingusan. Apa yang sebenarnya terjadi dalam sekolah kita? Sehingga para remaja ini berontak dan sekolah sebagai lembaga pendidikan tak cukup punya nyali untuk mengendalikan para siswanya sampai terjadi tawuran massal di sekolah yang konon masuk kategori favorit bahkan dengan embel-embel hiperbolik berstandar internasional.

Mungkin Shakespeare benar ketika menyatakan ”what’s in a name” apa artinya sebuah nama ketika fakta menyatakan pembuktian terbalik atas yang diharapkan dari sebuah nama, seperti nama Abdullah yang artinya hamba Allah ternyata faktanya adalah pembunuh dan pemerkosa yang secara substansial berarti pengingkar Allah, sama halnya dengan sekolah favorit dan berstandar internasional tanpa cita rasa dan aroma internasional, segala tentang nama dan citra yang menjulang akhirnya hanya selaksa slogan kosong tanpa makna. Ketika segala harapan dan gagasan tentang suatu hal yang ideal tidak dibarengi dengan suprastrktur dan infrastruktur yang memadai sebagai basis penyangganya. Fakta yang menyesakkan ini hendaknya menyadarkan kita tentang betapa gagalnya (bahkan usang) sekolah dalam memberikan upaya yang memadai dalam mendidik para remaja kita untuk menjemput usia dewasanya.

Pada abad kolaborasi yang sarat kompetisi gagasan ini, bagaimana bisa kita berharap pada sekolah yang pada prosesnya hanya mewajarkan watak kerumunan dan karakter pecundang yang bahkan tidak tahu caranya bertarung dengan benar, bisa melahirkan lulusan berkualitas yang kompatibel dengan irama zaman yang semakin deras dan tak mengenal batas.Untuk bisa bertahan, butuh karakter yang kuat dan basis nilai yang kokoh untuk menghadapi banjir informasi dan badai gagasan yang eskalasinya bisa berubah dalam hitungan detik,kalau tidak maka dalam jangka waktu yang tidak tidak terlalu panjang di masa depan,generasi muda kita (yang sekarang masih jadi siswa) hanyalah korban yang tidak diinginkan dari para predator (pasar dan korporasi) multinasional dalam pertarungan yang tak pernah seimbang.

Untuk mengantisipasinya,dibutuhkan perubahan yang mendasar menyangkut bagaimana cara menyiapkan generasi muda ini agar menjadi pemenang di masa depan, dengan mendidik mereka sebaik mungkin saat ini. Remaja adalah usia yang sangat transisional, karena itu sangat unik. Mereka telah lepas dan melewati masa kanak-kanak, akan tetapi mereka juga belum sepenuhnya menjadi dewasa. Untuk itu dibutuhkan pendidik yang juga memahami gejolak bathin dan dinamika alam pikir mereka yang transisional yang ditandai dengan kecenderungan ingin mencoba, anti otorotas, labil, solidaritas antar per group, kebermamaknaan dan kemampuan yang sangat minim untuk mengenal resiko dan tanggung jawab. Tanpa pemahaman yang simpatik, dan respon yang empatik juga konstruktif atas kompleksitas, keunikan dan kebutuhan mereka yang transisional, upaya apapun untuk membuatnya menjadi subjek dalam pembelajaran akan gagal.

Membuat mereka terlibat dalam proses pendidikan dan pembelajaran, haruslah dimulai dari kesadaran bahwa mereka adalah subyek belajar yang memiliki otonomi secara relative dengan segala potensi yang dimilikinya baik fisik, kejiwaan, intelejansia, moral, motivasional dan juga spiritual. Selanjutnya aktifitas mendidik adalah kesadaran untuk melibatkan para subjek belajar ini dengan para pendidiknya dalam interaksi yang hangat, mutualistik dan penuh resiko. Sehingga dalam prosesnya akan terjadi interaksi pendidik yang siswa, begitupun sebaliknya. Dalam interaksi yang resiprokal seperti itu,maka pembelajaran akan bersifat individual karena melibatkan pengalaman, transaksional karena melibatkan diferensiasi potensi dalam interaksi dialogis, mencapai kebermaknaan karena melahirkan sinergi dan kolaborasi dari beragam tipe kecerdasan, nilai dan gaya belajar. Dengan itu maka Pendidikan adalah upaya maksimal dengan penuh kesadaran untuk mengoptimalkan dan melibatkan semua potensialitas peserta didik dalam proses pambelajaran, sehingga bisa menciptakan pengalaman, kebiasaan dan karakter untuk mencapai aktualitas tertingginya dengan kematangan untuk menjemput masa depan.

Kesaksian ini hanyalah bentuk keprihatinan atas Pendidikan tanpa keterlibatan peserta didik, pendidikan yang melahirkan siswa tuna didik. Semoga lah menjadi mantra pelawan lupa, pengingat dalam jenak kesibukan yang kian panjang dan tak pernah usai, sepenuh simpati buat para korban pendidikan yang tidak mendidik, juga saran konstruktif buat para guru agar terus belajar menjadi pendidik yang terdidik. Senada dengan nasihat Ludwig Feurbach ”Educator should be Educated”. Sekian, Billahi Fii Sabiilil Haq.

Jelang shubuh,mengenang peristiwa penyerangan siswa SMKN 1 Ciamis ke SMA 2 Ciamis..

*Penulis adalah keluarga besar Pelajar Islam Indonesia (PII)

Sabtu, 05 Desember 2009