sorga bukan tempatku
tapi neraka siapakah mau
pintuMu kau tutup
jangan TUHAN....!!
untukku, ampuni segala dosa
benar sungguh kaulah itu sang pengampun
dosaku bak pasir di gurun lepas.....
terhampar.....
tergoyak.....
tercabik......
tewas............
deru nafsu menjajah tiap butir darah
jiwa belum pula merdeka
bukalah pintuMU wahai sang perkasa.....!
untukku.....untukku.....
sudikah rapuh raga ini.....
termakan usia sekali tolak rebahlah pasti
tapi dosa......tapi dosa.....
membukit iya menggunung....
ya....TUHANku....
kini hamba telah bersimpuh
kini hamba telah memohon
tatap wajahku,,,!!sudikah....
andai ada kaulah iya ampuni segala dosa
andai tiada pada siapa hamba kan meminta???
Ranzia
benar.....
ternyata tidak mudah merajut mimpi dengan memanfaatkan pemberian tuhan untuk di jadikan ladang amal tanpa batas buktinya dia yang tidur seharian hingga kini masih menguap padahal mukanya merah di depan meja tua melahap tulisan2 kumal tak berwujud....
"mana hartaku????"
ah..dy kira semuanya telah di rampas gerombolan perompak saat iya berlayar ke negri kapuk tadi...dia rasa sudah tak ada lagi pengakuan yang pasti dari tuhan untuknya..."lebih baik tidur sajalah..."fikirnya itulah keajaiban yang tunggu2 saat ini...
owh...padahal bila di cerna kehidupan ini bolak-balik tetap saja sperti itu....
kotoran berubah jadi makanan lejat yang hanya setahun sekali iya temukan...
sampai kapan dia diam menunggu hujan berlian dari tuhan....
sejenak...
"ah inilah aku dan ketakutan di dadaku!!".......
"dimana harus ku taruh mukaku yang mengkilat ini?"....
sejenak....
hahahhahha....."tempat sampah!!"
oleh Ranzia Al-anam
man blue, sang pejantan dari negeri wetan kasepuhan, mempunyai seorang istri putri kawasen hidup serba kesusahan hanya kata yang menjadi modal hidup mereka, sengaja bergabung dengan sekumpulan para pecandu syair-syair yang terabaikan,untuk sedikitnya bisa menyalurkan minatnya dalam dunia kepenulisan suatu waktu dirinya merasa terinjak harga diri dengan adanya bait syair karya salah seorang temannya dan di peruntukkan husus padany, nano balkan dengan bunyi " anjing, anjing masuk kandang syair"
dengan geram sang tokoh melangkah menghampiri kutan nano balkan.
"benar ini syair kau buat untukku, tidak salah?"
"tidak ada yang salah bahkan itu syair terbaikku, berterimakasihlah padaku."
"kau ini masa aku di samakan dengan anjing2?"
"ya kita disini memang anjing2 kalau kamu tak mau mengakui diri kamu anjing lebih baik keluar sajalah dari perkumpulan ini!"
"itu hina kawan, kita juga mesti tahu etika kepenulisan."
"kita punya etika sendiri, jangan mau nulis kalau mentalmu seperti itu!"
"aku hanya butuh pengertian, aku tak suka sastra."
"setiap kali kamu menulis ideu yang di dapat dari mana?"
"aku....dari kehidupan dengan istriku yang selalu hidup berantakkan."
"oh pantas saja kamu tak mau di bilang dirimu anjing."
"???????"
seorang man blue termenung, terkoyak dengan jutaan tanda tanya, katakanlah yang nampak adalah perasaan kesal bercampur kerinduan yang teramat mendalam pada sang istri tercinta yang nun jauh di kampung sana sedang menanti dengan do'a yang tak kunjung terhenti dari mulut mungilnya, bagimana tidak, sosoknya merupakan sumber fikiran dari penghasilan yang iya dapat, separuh ideu karyanya diperoleh dari keunikan hidup bersama istrinya.
sekarang, karyanya tak lagi muncul waktunya berguguran begitu saja, ibarat rumput kerdil yang tak lagi hijau, tersipu meringkuk dengan tubuh yang semakin melepas kemudaannya, butuh cairan yang dapat melepaskanya dari kemelut kerisauan hati yang kian terus menari-nari.
"apakah yang dimaksud si nano balkan tadi?"
"sudahlah kawan, jangan terlalu di fikirkan ucapan si balkan tadi, dia memang tak segan2 dengan karyanya."
"aku memang butuh banyak memahami budaya kepenulisan setiap sudut pandang."
"ya memang seharusnya begitu, kau tahu dia seorang yang gila?"
"ya dia gila karya."
"akupun semula berfikir seperti itu, tapi sebenarnya kegilaan karyanya itu bersumber dari dari paras hidupnya yang gila juga."
"jadi kau fikir di gila dua kali?"
"ya betul sekali, makanya kau jangan terus termenung seperti itu nanti kau mau kaya si balkan itu?"
"gila kau tak maulah."
"gila juga kau menganggapku gila."
"????"
di kediaman istri man blue, kampung koas berombak, nanar matahari nampak elok disitu, sang istri termenung dan berbicara pada mentari.
"akangku..........
untuk ke sekian kalinya aku terbakar oleh kata-kata yang membuatku tak berpijak pada bumi dua harian ini, malam tadi kau membawa kabar yang semakin tak mengenakkan hati, kau kembali menyulami kata lewat tembusan tulisan pada secarik kertas dari kota kembang sana, bosannya aku berlama-lama dengan perasaan gundah gulana seperti ini, kau tahu apa yang kau katakan?itu membuat jantungku turun setengah centi!!"
gubragggggg.......
"hahaha...mimpi kau ya?"
"kawan aku mendengar istriku berkicau."
"???"
oleh Ranzia Al-anam
lima menit yang lalu abah memanggilku untuk menemui akhi nurkamil, begitu sebutan abah kepadanya, aku sendiri tak tahu siapa wajah bukan asing yang sering menemui abah setiap hari dan ku temui barang beberapa menit saja di di ruang kerja abah, tak ada sepatah katapun yang berlaiu lewat di ungkapkan keduanya hanya sekedar memandangiku, menepak bahu, dan menyuruhku keluar kembali menyelesaikan aktivitas di dalam ruang, ruang megah yang ku anggap penjara hitam, tanpa lubang udara, tanpa suara, dan tanpa kekuatan cahaya berdimensi besar...hanya kerdipan lilin yang meleleh sebentar menunggu mati dan coretan pena berwarna warni beserta buku gambar kesayanganku...
"hari ini garis merah yang kecil ku gambar menjadi sedikit besar dengan lebar 2 cm dan panjangnya 5 cm, setelahnya ujung garis ku tarik dengan warna biru bersalur melingkar hingga menyerupai gambar yang sempat kulihat tadi di ruang kerja abah, aku ingat sesuatu, sepertinya itu gambar cincin yang tebuat dari wol bi Icha, dia sering mengantarkan makanan setiap hari untukku dengan lingkaran bulat di jarinya."
tiba-tiba suara langkah kaki 2 orang berjalan terdengar di telinga, sebentar terdengar begitu jelas mendekat, menghampiri dan spontan ku balikan badan ternyata abah dan akhi Nur. tanpa suara, matanya tajam menatap gambar yang ku buat persis seperti gambar di ruang kerja abah.
"kamu ingat sesuatu?"
akhi nur mengeluar kan suara dengan pertanyaan seperti itu, baru kali ini aku mendapati dia berbicara padahal telah beberapa bulan ini semenjak pertama kali melihatnya belum sama sekali terlihat berucap barang satu patah katapun kepadaku mungkin karena aku menghabiskan waktu siang malamku di tempat yang tak bertuan ini atau mungkin karena dia tak mau berbicara denganku.entahlah, padahal selama ini aku butuh sekali teman untuk bercakap.
"bibibibibibibi icicic....chacacaca."
"bi icha?!!!"
abah berlari kencang sekali sambil berteriak dengan memanggil nama icha, aku menangis, merobek-robek gambar yang semula ku buat, menjerit, ingin rasanya keluar dari tempat pengap ini menemui teman2 ku di luar sana teringat saat kita bermain gundu, petak umpet, kejar-kejaran dan yang paling ku ingat saat bi icha menjambak rambutku, mngikat tanganku, menutup mulutku dan menamparku lalu menendangku sebelum akhirnya iya memberiku pil yang sontak membuat aku terkapar lemah tak berdaya di lapang hutan tempat biasa kita bermain.
akhi nur mendekapku membawaku baerjalan pergi ke suatu tempat ku tatap bola merah berdimensi besar"indah sekali."
abah datang melambaikan tangan dan tertidur diatas rumput hijau taman rumah, ku kira dia kelelahan setelah berlari maka tertidur namun ternyata dia pergi untuk selamanya, di tangannya kudapati secuil kertas dengan tulisan berisikan........"kasihani anakku"
akhi Nur menangis di iringi tangisanku,
nissan itu.....
"AKU TELAH BERUMUR !7 TAHUN ABAH"
oleh Ranzia Al-anam
ku telan sedikit obat penawar keterasingan...
ku teguk setengah air pereda kebisingan....
perlahan...
nada-nada indah punah tak berbekas....
bagian hidupku terbang hilang melayang....
oh...
andai kau tahu cintaku tak tergantikan harga...
aku cinta sperti nuri yang setia menjaga telurnya...
nuri yang tak pernah lelah mendekap telurnya....
begitupun denganku yang selalu mendekap cintaku...
dengan sepenuh hati...
walau aku tahu...
aku tak bisa tuk menjadi nuri...
jikalau nuri mendekap telurnya karena mendapat suatu cinta...
aku mungkin tak seperti itu...
aku mendekap cintaku karena aku tak dapatka cinta...
aku mendekap cintaku untukku...
aku mungkin seekor pipit menanti siang...
ataupun mungkin burung hantu menantikan malam...
aku tak tahu semua itu...
aku bukanlah seorang pujangga yang mampu berkata puitis tuk menyatakan cinta...
aku takut pada cintaku!!!!
aku mau tuliskan sajak...
di nada kesadaran, dulu pernah ku daki
fatamorgana membuai tak berarah
kemilau batu kekar dalam nirwana tersentuh
menobatkan ayu-ayu kata yang sakaw
rentan suara latar-latar
berayun lewati jalan-jalan bising
aku kukuh mengukir sajak....
walau getir menepis jiwa perantara kata-kata
aku mau tuliskan sajak....
untukkmu..
jiwa ragaku....
oleh Ranzia Al-anam
"kasih ibu kepada beta
tak terhingga sepanjang masa......"
dari akar keluhan menjelma
isapan keringat dan darah berombak bersama rajutan kasih
sihiran-sihiran asma merasuk
berdendang ibatat ranting yang tak rapuh
laskar perjuangan keabadian....
menjamu ilalang.......
ibu......................
asmaramu memecah hening malam siang beradu
dalam renta waktu kian meleleh
aku nyeri menapaki hidup tanpa rasamu
mutiara hatimu, sinar tenangmu,
di jiwa kekal, panas, engkau memadu
dan aku mengadu.......
ibu......
peristiwa mana hendak kau ketahui
dalam diam, dalam sujud, dalam juring2 pemisah
kau racun matiku
aku tak bernafas tanpa rangkul kasihmu
ibu.............
apa yang harus ku tunjukan padamu
tangan2 kasihmu tak dapat ku terka
sebab jiwa tak mampu ku tebus dengan harta
hanya engkau pengobat luka
hanya engkau....
ibu.......
"hanya memberi tak harap kembali
bagai sang surya menyinari dunia."
Created by Ranzia
Berangkat dari keprihatinan melihat kondisi masyarakat Galuh(Ciamis)Raya yang hanya tinggal sedikit sekali responsnya terhadap regenerasi tradisi yang menjadi identitas Galuh(Ciamis), membuat saya tergerak untuk sedikitnya memberi gambaran sehat mengenai jawaban atas krisis yang kini terjadi.
Memang hanya sedikit yang menyadari akan hal ini sebab ada banyak sekali kebutuhan yang lebih utama yang lebih layak untuk difikirkan tentunya, ini menjadi hal utama yang mendasari keberadaan krisis yang saya maksudkan. Kepentingan yang lain mendominasi arah gerakan yang seharusnya berpedoman pada moment terbentuknya Galuh(Ciamis) Raya.
“barangsiapa yang tidak pernah mau memikirkan alasan mengapa bumi galuh ini di bentuk maka ia tidak akan pernah tahu alasan mengapa iya ada di galuh.”
Sebenarnya sedikit mengutip dari kalimat inspiratifnya Harun Yahya hanya saja redaksi bahasa yang dipersempit hingga mempengaruhi pemaknaanya. Ketika Harun Yahya berbicara mengenai Dunia maka saya berbicara Galuh(Ciamis).
Tidak sedikit orang yang telah lupa akan prinsip budaya , kronologis keberadaan ruang tinggalnya, dan peranan iya dalam menciptakan satu karya nyata tanpa melupakan akar budaya dimana iya tinggal, padahal ada banyak sekali wahana yang bisa dijadikan peluang untuk dirinya lebih unggul di lingkungannya dengan mengenal dan mendalami kekuatan apa yang dapat di bentuk di ruang tersebut tanpa membutuhkan waktu yang lama.
Saya mengajak semua untuk mengetahui bahwa ternyata begitu banyak wajah lain bumi Galuh ciamis yang belum diketahui , bahkan mungkin sebagian besar masyarakat Ciamis banyak yang merasa asing dengan sebagian daerah-daerah yang dianggap unik oleh kebanyakan orang, ini menandakan bahwa penyikapan yang apatis terhadap ruang tinggal mempengaruhi karakter tiap jiwa.
Pertanyaannya : “masihkah galuh(ciamis) ini tanah air kita?”
Ternyata ada sejuta panorama lembah berhias sawah, pegunungan yang berjejer dengan pohon pinus, jati, cemara dan lain-lain, ini benar bagian daripada kekayaan alam Galuh, ciamis. Jika kita tilik-tilik dengan melakukan perjalanan dari Cipaku, Kawali, hingga sampai ke Dusun Lumbung semua pasti kaget dengan melihat indahnya panorama Gunung Syawal, apalagi bila kita menyinggah barang sebentar di kota kecil Panjalu disana ada banyak sekali tempat-tempat bersejarah, pada sudut sebuah pasar Panjalu di dapati sebuah Gerbang Bumi Alit yang menyimpan banyak sekali misteri, ditambah lagi dengan kejernihan air situ Lengkong, dan terus melakukan perjalanan menuju kearah barat bertemu daerah Panumbangan Ciahaur beuti hingga sampai ke pantai laut selatan, Pangandaran, Karapyak, Batu Hiu, dan lain-lain.
Sedikit mengenalkan daerah istimewa di Galuh(Ciamis), yang saya maksudkan adalah, “ketika kita mampu menyelami bagian terindah dari bumi kita tinggal maka kedamain sejati ada di sana.” Ini adalah bagian penting untuk mengenal keberadaan budaya dan ruang tinggal, walaupun sebenarnya ada yang lebih penting lagi yaitu memahami sejarah berdirinya Galuh(Ciamis). ”orang besar adalah orang yang paham akan sejarah.” Apapun itu.
Dan lagi ketika kita telah mengenal maka kita akan paham peluang untuk kita memposisikan diri disana mau jadi apapun itu, so’ ayo kita pahami betul sejarah Galuh dan isinya!, Bagaimana galuh terbentuk?, dan berbagai macam tentang keGaluhan.
Dilarang mengaku sebagai warga Galuh(Ciamis) jika tidak mengenal Galuh secara menyeluruh, jika tidak ada sedikitpun kemauan maka untuk apa kita ada di bumi Galuh ini?, selanjutnya kembali saya bertanya : “masihkah Galuh(Ciamis) ini tanah air kita?”
Rupanya telah banyak yang tidak peduli lagi akan keberadaannya, jika demikian siapa pula yang akan menjaga keutuhan Galuh kalau bukan kita warga Galuh sendiri.
ukur anjeun
nu teu weleh ngalangkang
dina saban implengan
ukur anjeun
nu teu weleh ngancik
dina hate
ukur anjeun
anu teaya nanding
leleuwihan rumpakan mega
ukur anjeun
salawasna mimpin
tikawit ngecap kinanti
dugika batara tresna
bade iraha rasa ka tresna
ngamuara...
mugia.....
Dunia kini memang semakin terasa nyata ke asingannya, di tengah hiruk pikuk-hingar binger nada syahdu hegemoni tiap-tiap jiwa benar menjadi fenomena alami tetap dalam tangan kekuasaan sang pencipta aku masih terasa nyaman di keadaan seperti sekarang ini.
Jauh di sana merpati-merpati teman masa kecilku menanti kehadiran dalam setiap pojok luang perempatan menuju kampung halaman terpencil, terunik, jauh dari kemuakkan kota tempat biasa aku menimba ilmu untuk bekal di kemudian hari, lama sekali rasanya tak mendengar kecipak ikan air kolam di dekat perempatan gapura desa, tak menghirup aroma udara yang sangat berbeda dengan kedimanku di perantauan sana.
Selamat Datang! Sapaku pada Negara antah berantah namun tetap di kemelut sejatinya yang mengharukan , suasana berbeda namun di kenyamanan yang sama, indah sekali rasanya apalagi dengan ku tatap mega-mega di pagi sore, ruang jiwa ini seolah semakin hidup, semakin berwarna, ku suka. Tak sabar pula menatap mamah-bapak yang ku tahu beliau menunggu di teras-teras rumah.
Kemuning senja mulai Nampak mengkerut menyemai panorama yang lebih indah dipandang, perjalanan kaki berjarak sekitar 2 kilometeran untuk mencapai rumah hanya tinggal beberapa langkah saja, dari kejauhan telah jelas sekali merpati-merpati itu menunggu di depan rumah, di depan pagar yang mulai terlihat mengemas memantul karena biasan cahaya mentari sore, selangkah kedua orang lunglai yang sedang santai setengah berlari menhampiri hingga berdiri tepat di ujung tatap mataku.
Oh tuhan, sepasang sosok tua renta, dengan pakaian selapis mulai melusuh, kulit keriput menatap memeluk, meneteskan air mata, dicium pula dahi, pipiku berulang-ulang stelahnya ku kecup kedua tangannya yang kasar.
“assalamualaikum bapak-ibu.”
“waalaikum salam anakku, kami merindukanmu”
Aku di boyong masuk kedalam rumah, sedikit ku teteskan air mata lalu bercerita-cerita kesana kemari perihal sikap prilaku dan kebiasaanku di kota sana, pengalaman-pengalaman dan lain sebagainya. Alangkah indah sekali rasanya kehidupan ini bila setiap hari ku rasakan nikmatanya moment sperti saat ini, tapi tak mungkin.
“kemanakah adik Lina Ibu?”
“oh, dia sedang pergi ke rumah temannnya nak di pinggir ladang sana.”
“aku susul ya bu.”
“tak usah bentar lagi juga pulang dia hanya mengantar bunga hias yang di pesan temannya tadi pagi, lebih baik kamu ganti baju, nampaknya kotor sekali bajumu kena debu jalanan setelahnya barulah istirahat barang sejenak sambil menunggu adzan magrib” tutur ibu dengan santun bukti kasih sayangnya.
“baiklah.”
Sebentar ku heula nafas panjang tanda terimakasih pada tuhan mengembalikan sesak yang lama tertunda menunggu harum udara sore di gempit karunianya, disinilah kurasakan karunia tersebut.
“itu dia datang.”
“kakak…..”
Sesumpal kabut sore dalam ingatanku di masa yang lalu mengembus dalam jarak searah mata memandang di ketinggian langit dalam bayangku beliau sang bapak , ibu, dan adik. 2 tahunan yang lalu sering mencibir langit sore itu, sebelum mereka kembali pada sang pencipta disantap lelap si jago merah.
Banjarsari, 14 september 2010
Ranzia Al-Anam
keinginanku memang jelas
kita dengan kita berkumpul!
berkumpul bersama sampai nanti rebah
untuk istirahat di dalam tanah
namun tuhanlah yang menentukan
walau kita tlah sepakat
seikat, setali bersama!
bersama di dalamnya
oh...
ingatlah kita dengan kita
rasanya hancur gemericik air
rebah menggulung bagai ombak
berteriak lantang menghujam
tawa! canda! suka! duka!
kita dengan kita
mugkin tak di kelas lagi
tapi diluar sana terjadi.
sumpah deh...
ingin rasanya kita dengan kita
bercanda berkokok bersama
menerjang dengan garang bola-bola...!!!
menerkam sang tahu berontak!!
inilah awal perpisahan kita dengan kita
jadilah kenangan indah tuk kita dengan kita
tuturkan kata hati kita dengan kita
tuk gapai angkasa cita luas kita dengan kita
tengoklah aku disini
merasakan siang dan malam hanya kita dengan kita
lihatlah wajahku di cermin batinmu
kau pasti tersenyum dengan linangan air mata
haha....
malam ini ingin rasanya kita dengan kita
berkumpul tuk lepas risau
merangkul hari-hari itu...
yang penuh kuntum ikatan
tentang hari-hari kita dengan kita
tentang tembang kidung kita dengan kita
tentang cerita kita dengan kita
rupanya menyimpang sudah...
perpisahan ini jangan diganggu
memandanglah dengan matamu
berkacalah dengan cerminmu
memintalah dengan lidahmu
menolaklah dengan isyaratmu
memberilah dengan hatimu
menghinalah dengan ucapmu
mengundanglah dengan imanmu
agar kita dengan kita tetap menimbun
subur berdaun cita kita
singkirkan tirani kita
mengunjang kekang tandang
mengembala watak kita
menuju jalan ridhonya
untuk kita dengan kita
created : ranzia al anam
inspirasi sajak kidung nier
oleh: Ranzia Al-Anam
Dunia kini memang semakin terasa nyata ke asingannya, di tengah hiruk pikuk-hingar binger nada syahdu hegemoni tiap-tiap jiwa benar menjadi fenomena alami tetap dalam tangan kekuasaan sang pencipta aku masih terasa nyaman di keadaan seperti sekarang ini.
Jauh di sana merpati-merpati teman masa kecilku menanti kehadiran dalam setiap pojok luang perempatan menuju kampung halaman terpencil, terunik, jauh dari kemuakkan kota tempat biasa aku menimba ilmu untuk bekal di kemudian hari, lama sekali rasanya tak mendengar kecipak ikan air kolam di dekat perempatan gapura desa, tak menghirup aroma udara yang sangat berbeda dengan kedimanku di perantauan sana.
Selamat Datang! Sapaku pada Negara antah berantah namun tetap di kemelut sejatinya yang mengharukan , suasana berbeda namun di kenyamanan yang sama, indah sekali rasanya apalagi dengan ku tatap mega-mega di pagi sore, ruang jiwa ini seolah semakin hidup, semakin berwarna, ku suka. Tak sabar pula menatap mamah-bapak yang ku tahu beliau menunggu di teras-teras rumah.
Kemuning senja mulai Nampak mengkerut menyemai panorama yang lebih indah dipandang, perjalanan kaki berjarak sekitar 2 kilometeran untuk mencapai rumah hanya tinggal beberapa langkah saja, dari kejauhan telah jelas sekali merpati-merpati itu menunggu di depan rumah, di depan pagar yang mulai terlihat mengemas memantul karena biasan cahaya mentari sore, selangkah kedua orang lunglai yang sedang santai setengah berlari menhampiri hingga berdiri tepat di ujung tatap mataku.
Oh tuhan, sepasang sosok tua renta, dengan pakaian selapis mulai melusuh, kulit keriput menatap memeluk, meneteskan air mata, dicium pula dahi, pipiku berulang-ulang stelahnya ku kecup kedua tangannya yang kasar.
“assalamualaikum bapak-ibu.”
“waalaikum salam anakku, kami merindukanmu”
Aku di boyong masuk kedalam rumah, sedikit ku teteskan air mata lalu bercerita-cerita kesana kemari perihal sikap prilaku dan kebiasaanku di kota sana, pengalaman-pengalaman dan lain sebagainya. Alangkah indah sekali rasanya kehidupan ini bila setiap hari ku rasakan nikmatanya moment sperti saat ini, tapi tak mungkin.
“kemanakah adik Lina Ibu?”
“oh, dia sedang bermain dengan temannnya nak di pinggir ladang sana.”
“aku susul ya bu.”
“tak usah bentar lagi juga pulang dia hanya mengantar bunga hias yang di pesan temannya tadi pagi, lebih baik kamu ganti baju, nampaknya kotor sekali bajumu kena debu jalanan setelahnya barulah istirahat barang sejenak sambil menunggu adzan magrib” tutur ibu dengan santun bukti kasih sayangnya.
“baiklah.”
Sebentar ku heula nafas panjang tanda terimakasih pada tuhan mengembalikan sesak yang lama tertunda menunggu harum udara sore di gempit karunianya, disinilah kurasakan karunia tersebut.
“itu dia datang.”
“kakak…..”
Sesumpal kabut sore dalam ingatanku di masa yang lalu mengembus dalam jarak searah mata memandang di ketinggian langit dalam bayangku beliau sang bapak , ibu, dan adik. 2 tahunan yang lalu sering mencibir langit sore itu, sebelum mereka kembali pada sang pencipta disantap lelap si jago merah.
Banjarsari, 14 september 2010
*) Penulis adalah aktifis pelajar islam